Arif Wicaksono (04)
Odilio
A H A (18)
Restu
Agustina (23)
Risma
Dwi P (25)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan
makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Nya mungkin penyusun
tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas STUDY KASUS MENGENAI SISTEM RELIGI yang kami
sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh
penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun
maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah
ini memuat tentang “STUDY KASUS MENGENAI SISTEM RELIGI” .Penyusun juga
mengucapkan terima kasih kepada guru
pembimbing yang telah banyak membantu penyusun agar dapat menyelesaikan
makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan
kritiknya. Terima kasih.
Penulis
DAFTAR
ISI
Judul..............................................................................................................
(Halaman 1)
Katapengantar............................................................................................
(Halaman 2)
Daftar
isi
.......................................................................................................(Halaman
3)
BAB
I PENDAHULUAN DAN ISI
A.
LATAR BELAKANG MASALAH ..........................................................(Halaman
4)
B. Teori Religi dalam
kehidupan manusia..............................................(Halaman
5)
C. Teori-teori agama dalam kehidupan manusia................................(Halaman 7)
D. Agama dalam
konteks Wahyu Tuhan.............................................(Halaman 10)
E.Sistem Religi Awal di indonesia...........................................................(Halaman
15)
F.SISTEM KEPERCAYAAN
AWAL MASYARAKAT DI INDONESIA ....................( Halaman 15)
BAB
II PENUTUP
A. SIMPULAN........................................................................................ (Halaman 16)
B. Daftar Pustaka. ................................................................................ (Halaman 17)
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Kemampuan
otak manusia untuk membentuk gagasan-gagasan dari konsep-konsep
dalam akalnya menyebabkan
bahwa ia mampu membayangkanan dirinya sendiri terlepas dari
lingkungannnya, yang
merupakan dasar dari kesadaran akan identitas dan kepribadian
dirinya. Berbagai jenis
hewan juga memiliki identitas diri, namun kesadaran akan identitas itu tidaklah
setajam manusia, karena dangan akalnya manusia memiliki kemampuan untuk
membayangkan
peristiwa-peristiwa yang mungkin menimpa dirinya, baik yang
membahagiakannya maupun
yang dapat membawa kesengsaraan baginya. Sesuatu hal yang
paling ditakuti manusia
adalah apa yang pasti akan dialaminya, yaitu saat manusia
menghadapi maut, yang
kemudian merupakan salah satu sebab timbulnya religi.
Sekurangnya ada dua konsep umum yang
menerangkan tentang ‘kepercayaan’ kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap
Tuhan, yaitu antara konsep agama dan konsep religi. Koentjaraningrat (1987),
sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di Indonesia, mengatakan bahawa religi adalah sebagai bagian
dari kebudayaan; dalam banyak hal yang membahas tentang konsep ketuhanan beliau
lebih menghindari istilah ‘agama’ , dan lebih menggunakan istilah yang lebih
netral, yaitu ‘religi’. Ada juga yang berpendirian bahwa suatu sistem religi
merupakan suatu agama,tetapi itu hanya berlaku bagi penganutnya saja; sistem
religi Islam merupakan agama bagi anggota umat Islam, sistem religi Hindu
Dharma merupakan suatu agama bagi orang Bali; ada juga pendirian lain yang
mengatakan bahwa agama adalah semua sistem religi yang secara resmi diakui oleh
negara.
Sebenarnya pendapat Koentjaraningrat di atas
yang mengatakan bahwa religi adalah
bagian dari kebudayaan
karena beliau mengacu pada sebagain konsep yang dikembangkan
oleh Emile Durkheim (1912)
mengenai dasar-dasar religi dengan empat dasar komponen,
yaitu :
1. emosi keagamaan,
sebagai suatu substansi yang menyebabkan manusia menjadi
religius;
2. sistem kepercayaan yang
mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia
tentang sifat-sifat Tuhan
atau yang dianggap sebagai Tuhan, serta tentang wujud dari
alam gaib (supernatural);
3. Sistem upacara religius
yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan,
Dewa-dewa atau
Mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib;
4. kelompok-kelompok
religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem
kepercayaan tersebut
Menurut konsep ilmu pengetahuan dan agama-agama yang ada di muka bumi ini menyatakan bahwa suatu bentuk aktifitas manusia yang dianggap sebagai suatu penyerahan diri terhadap Zat yang dianggap mengatur, menciptakan, atau menentukan kehidupan manusia di dunia dimana manusia hidup dan di dunia dimana manusia sudah mati yang mengacu kepada konsep E. Durkheim di atas dapat disebut sebagai agama.
Menurut konsep ilmu pengetahuan dan agama-agama yang ada di muka bumi ini menyatakan bahwa suatu bentuk aktifitas manusia yang dianggap sebagai suatu penyerahan diri terhadap Zat yang dianggap mengatur, menciptakan, atau menentukan kehidupan manusia di dunia dimana manusia hidup dan di dunia dimana manusia sudah mati yang mengacu kepada konsep E. Durkheim di atas dapat disebut sebagai agama.
Tidak
semua perilaku keagamaan atau religi itu adalah khas manusia; untuk ajaran
Islam misalnya bahkan
hampir seluruh aktifitas keagamaan itu sumbernya adalah wahyu
Tuhan, dan hanya sedikit
sekali unsur-unsur gagasan manusia disana, demikian juga dengan
agama-agama yang lain yang
menganggap berbagai aktifitas itu sumbernya adalah Tuhan.
Disini
agama itu dipisahkan dengan kebudayaan, pada aktifitas-aktifitas tertentu yang tujuannnya
adalah penyerahan diri (taat, bakti, doa, pemujaan, penyembahan dan sebagainya)
pada Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan, walaupun ada gagasan-gagasan atau
tangantangan manusia yang turut di dalamnya merupakan aktifitas keagamaan;
dilain fihak,segala bentuk tindakan, gagasan, dan hasil tindakan khas manusia
yang relatif tidak melibatkan unsur-unsur keagamaan atau tidak dimaksudkan
sebagai bentuk ritual tertentu, itulah kebudayaan.
B.Teori religi dalam
kehidupan manusia
1. Teori religi dalam
kehidupan manusia terdahulu
Edward B Tylor (1873), dianggap sebagai bapak
antropologi, mengemukakan teori
tentang jiwa;
dikatakannya asal mula religi itu adalah kesadaran manusia akan faham jiwa
atau soul,
kesadaran mana yang pada dasarnya disebabkan oleh dua hal :
a. Perbedaan
yang tampak pada manusia mengenai hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati;
suatu mahluk pada satu saat dapat bergerak-gerak, berbicara, makan, menangis,
berlari-lari dan
sebagainya, artinya mahluk itu ada dalam keadaan hidup; tetapi pada
saat yang lain mahluk itu
seolah-olah tidak melakukan aktifitas apa-apa, tidak ada
tanda-tanda gerak pada mahluk
itu, artinya makluh itu telah mati. Demikian lambat
laun manusia mulai sadar
bahwa gerak dalam alam itu, atau hidup itu, disebabkan
oleh sesuatu hal yang ada
di samping tubuh-jasmani, dan kekuatan-kekuatan itulah
yang disebut sebagi jiwa.
b.
Peristiwa mimpi; dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat
laindaripada tempat
tidurnya . Demikian, manusia mulai membedakan antara tubuh
jasmaninya yang ada di
tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke
tempat-tempat lain; bagian
lain itulah yang disebut sebagai jiwa.
Sifat
abstrak dari jiwa tadi menimbulkan keyakinan diantara manusia bahwa
jiwadapat hidup langsung,
lepas dari tubuh jasmani. Pada waktu hidup, jiwa masih
berangkutan dengan tubuh
jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia
tidur dan waktu manusia
tidak sadarkan diri (pingsan). Karena pada suatu saat serupa itu
kekuatan hidup pergi
melayang-leyang, maka tubuh berada dalam keadaan yang lemah.
Namun menurut Tylor.
Walaupun melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat-saat
seperti tidar atau
pingsan, tetap ada. Hanya pada waktu
seorang manusia mati, jiwa itu pergi melepaskan diri dari hubungan
tubuh-jasmani untuk selama-lamanya.
Dengan peristiwa-peristiwa di atas nyata
terlihat, kalau tubuh-jasmani sudah hancur
berubah menjadi debu di
dalam tanah atau hilang berganti abu didalam api upacara
pembakaran mayat, maka
jiwa yang telah merdeka lepas dari jasmani itu dapat berbuat
sekehendak hatinya.
Menurut keyakinan ini maka alam semesta ini penuh dengan jiwa-jiwa
yang merdeka, dan tidak
disebut sebagai jiwa lagi, tetapi dikatakan sebagai mahluk halus
atau spirit;
demikian pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya
jiwa menjadi kepercayaan
kepada mahluk-mahluk halus.
Pada
tingkat tertua di dalam evolusi religinya manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus
itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Mahluk-mahluk
halus tadi, yang tinggal dekat sekeliling tempat tinggal manusia, dianggap
bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap oleh pancaindera manusia, yang
mampu berbuat hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, mendapat suatu
tempat yang amat penting di dalam kehidupan manusia sehingga menjadi obyek
penghormatan, pemujaan, dan penyembahannya, dengan berbagai upacara keagamaan
berupa doa, sajian atau korban. Pada tingkat religi semacam ini oleh Tylor
disebut sebagai animism.
Pada tingkat kedua di dalam evolusi religi
manusia percaya bahwa gerak alam hidup
itu juga disebabkan oleh
adanya jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam itu;
sungai-sungai yang
mengalir dan terjun dari gunung ke laut, gunung yang meletus, gempa
bumi yang merusak, angin
taufan yang menderu, matahari yang menerangi bumi, berseminya tumbuh-tumbuhan,
dan sebagainya semuanya disebabkan oleh jiwa alam; dalam kemudian, jiwa alam
ini dipersonifikasikan, dianggap oleh manusia sebagai mahluk-mahluk dengan suatu
kepribadian, pikiran, dan kemauan. Mahluk-mahluk halus yang ada di belakang
gerak alam serupa ini disebut dengan Dewa-dewa alam.
Pada
tingkat ketiga dalam evolusi religi, bersama-sama dengan timbulnya susunan
kenegaraan di dalam
kehidupan masyarakat , timbul pula kepercayaan bahwa alam Dewa-dewa
Itu juga hidup di dalam suatu susunan seperti kenegaraan di atas, serupa dengan
kehidupan manusia; dengan
demikian seolah-olah ada suatu susunan pangkat Dewa-dewa
mulai dari raja Dewa
sebagai Dewa yang tertinggi, sampai dengan dewa-dewa yang terendah.Suatu
susunan seperti itu lambat laun akan menimbulkan suatu kesadaran bahwa semua
dewa itu pada hakekatnya hanya merupakan penjelmaan saja dari satu dewa yang
tertinggi. Akibat dari kepercayaan itu adalah berkembangnya kepercayaan kepada
satu Tuhan yang Esa, dan timbulnya agama-agama monotheisme.
C.Teori-teori agama pada
kehidupan manusia kemudian
2. Teori-teori agama pada
kehidupan manusia kemudian
2.1. Teori Batas Akal
Teori religi tentang batas akal ini
dikembangkan oleh J.G. Frazer (1890) yang
berpedoman bahwa manusia
dalam kehidupannya senantiasa memecahkan berbagai persoalan hidup dengan
perantaraan akal dan ilmu pengetahuan; namun dalam kenyataannya bahwa akal dan sistem pengetahuan itu itu
sangat terbatas sekali. Makin maju kebudayaan manusia, makin luas batas akal
itu, tetapi dalam banyak kebudayaan batas akal manusia masih amat sempit.
Persoalan hidup yang tidak bisa dipecahkan dengan akal, dicoba dipecahkannya dengan
melalui magic, ialah ilmu gaib. Magic diartikan sebagai segala perbuatan
manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada pada
alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya; pada mulanya
manusia hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecehkan segala persoalan hidup
yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Religi waktu itu belum
ada dalam kebudayaan manusia, lambat laun terbukti bahwa banyak dari perbuatan
magic itu tidak menunjukkan hasil yang diharapkan, maka pada saat itu orang mulai
percaya bahwa alam itu didiami oleh mahlu-mahluk halus yang lebih berkuasa
darinya, maka mulailah manusia mencari hubungan dengan mahluk-mahluk halus yang
mendiami alam itu, dan timbullah religi.
Menurut
Frazer, memang ada suatu perbedaan yang
besar antara magic dan religi;
magic adalah segala sistem
perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud
dengan menguasai dan
mempergunakan kekuatan dan hkum-hukum gaib yang ada di dalam
alam. Sebaliknya,religi
adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara
menyandarkan diri religi kepada
kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti ruh-ruh, dewa, dan
sebagainya.
2.2. Teori masa Krisis
Dalam Hidup Individu
Pandangan tentang masa-masa krisis ini
disampaikan oleh M. Crawley (1905) dan
A.Van Gennep (1909); menurut
ke dua orang ini, dalam jangka waktu hidupnya, manusia
mengalami banyak krisis
yang menjadi sering obyek perhatian dan
dianggap sebagai suatu
yang menakutkan.
Bertapapun bahagianya hidup orang, entah sering atau jarang terjadi
bahwa orang itu akan ingat
akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis dalam
hidupnya; krisis –krisis
itu terutama berupa bencana-bencana sekitar sakit dan maut (mati),
suatu keadaan yang sukar
bahkan tidak dapat dikuasai dengan segala kepandaian, kekuasaan, atau harta
benda kekayaan yang mungkin dimilkinya.
Dalam jangka waktu hidup manusia, ada
berbagaimasa dimana kemungkinan adanyansakit maut ini besar sekali, yaitu
misalnya saat kanak-kanak, masa peralihan dari usia pemuda ke dewasa , masa
hamil, masa kelahiran, dan akhirnya maut. Van Gennep menyebut masamasa itu
sebagai crisis rites atau
rites de passage. Dalam menghadapi masa krisis serupa itu manusia butuh
melakukan perbuatan untuk memperteguh imannya dan menguatkan dirinya;perbuatan
serupa itu , yang berupa upacara-upacara pada masa krisis tadi itulah yang
merupakan pangkal dari religi dan bentuk-bentuk religi yang tertua.
2.3. Teori Kekuatan Luar
Biasa
Pendirian
ini dikemukakakan oleh seorang sarjana antropologi Inggris R.R. Marett; (
1909) salah satu dasar
munculnya teori ini adalah sebagai sanggahan terhadap teori religi
yang dikemukakanoleh E.B.
Tylor mengenai timbulnya kesadaran manusia akan jiwa;
menurut Marett, kesadaran
tersebut adalah hal yang bersifat terlalu kompleks bagi pikiran
manusia yang baru ada pada
tingkat-tingkat permulaan kehidupannya di muka bumi ini.
Menurut
Marett, pangkal daripada segala kelakuan agama ditimbulkan karena suatu
perasaan rendah terhadap gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap
sebagai biasa dalam kehidupan manusia. Alam, tempat gejala-gejala dan
peristiwa-peristiwa itu berasal, yang dianggap oleh manusia dahulu sebagai
tempat adanya kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan yang telah
dikenal manusia dalam alam sekelilingnya, disebut the supernatural. Gejala-gejala, hal-hal, dan
peristiwa-peristiwa yang luas biasa itu dianggap akibat dari suatu kekuatan
supernatural, atau kekuatan luar biasa atau kekuatan sakti. Adapun
kepercayaan kepada suatu kekuatan sakti yang ada dalam gejala-gejala, hal-hal,dan
peristiwa-peristiwa yang luar biasa tadi, oleh Marett dianggap sebagai suatu
kepercayaan yang ada pada
mahluk manusia sebelum ia percaya kepada mahluk halus dan
ruh; dengan perkataan
lain, sebelum ada kepercayaan animisme maka ada satu bentuk
kepercayaan lain yang oleh
Marett disebutnya sebagai praeanimisme.
2.4. Teori Sentimen
Kemasyarakatan
Teori
ini berasal dari seorang sarjana ilmu filsafat dan sosiologi bangsa Perancis,
Emile Durkheim (1912)
Teori
itu berpusat kepada beberapa pengertian dasar, ialah:
a) Mahluk manusia dalam kala ia baru timbul di
muka bumi, mengembangkan aktivitas
religi itu tidak karena ia
mempunyai di dalam alam pikirannya bayangan-bayangan
abstrak tentang jiwa,
ialah suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak di
dalam alam, tetapi karena
suatu getaran jiwa, suatu emosi keagamaan, yang timbul di
dalam jiwa manusia dahulu,
karena pengaruh suatu rasa sentimen kemasyarakatan.
b) Sentimen kemasyarakatan
itu dalam batin manusia dahulu berupa suatu kompleks
perasaan yang mengandung
rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta, dan sebagainya,
terhadap masyarakatnya
sendiri, yang merupakan seluruh alam dunia dimana ia hidup.
c) Sentimen kemasyarakatan
yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, yang
sebaliknya merupakan
pangkal daripada segala kelakuan keagamaan manusia itu, tentu
tidak selalu
berkobar-kobar dalam alam batinnya. Apabila tidak dipelihara, maka
sentimen kemasyarakatan
itu menjadi lemah dan laten, sehingga
perlu dikobarkan
kembali. Salah satu cara
untuk mengobarkan kembali sentimen kemasyarakatan adalah
dengan mengadakan suatu
kontraksi masyarakat, artinya dengan mengumpulkan
seluruh masyarakat dalam
pertemuan-pertemuan raksasa yang
bernuansa religius.
d) Emosi keagamaan yang
timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan, membutuhkan
suatu objek tujuan. Sifat
apakah yang menyebabkan barang sesuatu hal itu menjadi
objek daripada emosi
keagamaan bukan terutama sifat luar biasanya, bukan pula sifat
anaehnya, bukan sifat megahnya,
bukan sifat ajaibnya, melainkan tekanan anggapan
umum dalam masyarakat.
Obyek itu salah sesuatu peristiwa kebetulan di dalam sejarah
daripada kehidupan sesuatu
masyarakat di dalam waktu yang lampau menarik
perhatian banyak orang di
dalam masyarakat. Objek yang menjadi tujuan emosi
keagamaan itu juga
mempunyai objek yang bersifat keramat, bersifat sacre (sakral),
berlawanan dengan objek
lain yang tidak mendapat nilai keagamaan (ritual value) itu,
ialah objek yang tak
keramat atau profane.(profan).
e) Objek keramat
sebenarnya tidak lain daripada suatu lambang masyarakat. Pada suku-suku bangsa
asli benua Australia misalnya, objek keramat, pusat tujuan daripada
sentimen-sentimen
kemasyarakatan, sering juga sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan,
tetapi sering juga objek
keramat itu berupa benda. Oleh para sarjana objek keramat itu
disebut totem (jenis binatang atau lain objek)
itu mengkonkritkan prinsip totem yang
ada di belakangnya, dan
prinsip totem itu adalah suatu
kelompok tertentu di dalam
masyarkat, berupa clan
atau lainnya.
Pendirian-pendirian tersebut pertama di atas, ialah emosi keagamaan dan sentimen
kemasyarakatan, adalah
menurut Durkheim, pengertian-pengertian dasar yang merupakan inti daripada tiap
religi; sedangkan ketiga pengertian lainnya, ialah kontraksi masyarakat,
kesadaran akan objek
keramat berlawanan dengan objek tak-keramat, dan totem sebagai
lambang masyarakat,
bermaksud memelihara kehidupan daripada inti. Kontraksi masyarakat, obyek
keramat dan totem akan menjelmakan (a)
upacara, (b) kepercayaan dan (c) mitologi. Ketiga unsur tersebut terakhir
ini menentukan bentuk lahir daripada sesuatu religi di dalam sesuatu masyarakat
tertentu.
D. Agama dalam konteks
wahyu Tuhan
Dilihat
dari sudut asal-usul manusia misalnya, agama-agama besar khususnya agama
Islam dan agama Nasrani
agama-agama yang relatif tradisional, mengatakan bahwa manusia
itu diciptakan sekali saja
oleh Tuhan dan umat manusia yang ada sekarang ini adalah
keturunan dari manusia
yang pertama itu. Dalam rangka peninjauan tersebut, manusia
berbeda dengan
mahluk-mahluk ciptaan Tuhan lainnya; manusia berbeda secara hakekat dan secara
prinsip dengan hewan. Seorang ahli antropologi, Ralph Linton (1984),
mengatakan bahwa apabila kita membuat perbandingan antara tinjauan agama dengan
tinjauan ilmiah terhadap keberadaan manusia, memang masing-masing berbeda
tetapi bukan berarti bertentangan. ‘Prediksi’
asal mula manusia dari bentuk yang sangat sederhana sampai bentuk yang sempurna
seperti sekarang ini. Teori evolusi manusia yang pernah menggemparkan dunia ini
akhirnya runtuh juga, salah satu sosok yang meruntuhkannya adalah serangan dari
para agamawan yang menolak bahwa manusia pertama yang digambarkannya tidak
mungkin serendah itu, manusia adalah manusia, bukan mahluk lain.
Bila
kita lihat lebih dalam lagi, kita akan mengetahui bahwa tinjauan ilmu
pengetahuan tentang
evolusi asal mula manusia, semata-mata merupakan penyelidikan
tentang mekanisme
penciptaan; ajaran evolusionisme struktural dengan pengamatannya dapat memetakan
berbagai bentuk-bentuk baru yang secara biologis memang mungkin terjadi dan mengalami
perubahan; tetapi ilmu pengetahuan tidak dapat menetapkan kekuatan-kekuatan apakah
yang menyebabkan adanya perkembangan evolusi dari seluruh mahluk hidup, selain ketidak
mampuannya untuk meramalkan arah daripada perubahan-perubahan itu. Ilmu pengetahuan
dapat membuktikan bahwa kehidupan yang asal-usulnya tidak diketahui itu berkembang
dari bentuk yang sederhana menjadi yang
lebih kompleks, tetapi ilmu pengetahuan tidak dapat menjelaskan secara empirik
Penggerak pertama dari segala perubahan itu, ilmu pengetahuan juga tidak dapat
menguraikan tentang Prima Causa dari
segala yang hidup.
Apabila ilmu pengetahuan
bertugas untuk tetnang kenyataan dan keadaan kehidupan
sebagaimana adanya sekarang dan di masa lalu,
maka tugas agama atau religi adalah untuk
menunjukkkan bagaimana manusia itu harus hidup.
Dalam hubungan ini Mohammad Hatta
mengemukakan mengenai hubungan antara ilmu dan
agama, bahwa memang ada berlainan
keinsafan antara ilmu dan agama , tetapi bukan
berarti bertentangan, lingkup ilmu yaitu
berkisar mengenai pengetahuan yang pelitanya
terletak di otak manusia, sedangkan agama
adalah soal kepercayaan yang pelitanya terletak
di hati.
Di
Indonesia, dimana landasan kehidupan sosial, budaya , dan kenegaraan adalah
Pancasila,di mana tiap-tiap anggota masyarakat
dapat memeluk agama-agamanya sendiri,
orang bebas bertanya sepanjang pertanyaan itu
tidak mengingkari ajaran-ajaran agama. Di
dalam agama inilah emosi manusia menemui muara
kebebasan, dan sebagai manusia yang
beriman kita percaya bahwa seluruh alam semesta
ini dengan hukum-hukum alamnya yang
ada dan masih dicari-cari oleh manusia, semua
adalah kreasi dari Tuhan Yang Mahaesa;
bahwa dibelakang segala fenomena alam ini
terdapat Maha Penggerak yang tidak digerakkan,
Gaya Ghaib, Prima Causa, dan kita memandang isi
alam semesta ini sebagai menifestasi
kebesaran Tuhan.
Dalam
konteks antropologi, teori Firman Tuhan pada mula-mulanya berasal dari
seorang sarjanan antropologi bangsa Austria
bernama W.Schmidt (1913); Sebelum Schmidt,
sebenarnya ada sarjana lain yang pernah
mengajukan juga pendirian tersebut, yaitu seorang
ahli kesusateraan bangsa inggris, bernama A.Lang
(1889).
Sebagai
ahli kesusasteraan, Lang telah banyak membaca tentang kesusasteraan rakyat
dari banyak suku di dunia. Di dalam
dongeng-dongeng itu, Lang sering mendapatkan adanya
seorang tokoh dewa yang oleh suku-suku bangsa
bersangkutan di anggap dewa tertinggi,
pencipta seluruh alam semesta serta isinya, dan
penjaga ketertiban alam dan kesusilaan.
Kepercayaan kepada seorang tokoh dewa serupa itu
menurut Lang terutama tanpak pada
suku-suku bangsa yang amat rendah tingkat
kebudayaannya, dan yang hidup dari berburu
atau meramu, ialah misalnya suku-suku bangsa
yang berburu di daerah Gurun Kalahari di
Afrika Selatan, yang biasanya disebut orang
Bushman, suku-suku bangsa asli benua
Australia, suku-suku bangsa Negrito di daerah
hutan rimba di Kamerun dan Kongo, Afrika
Tengah, penduduk kepulauan Andaman, penduduk
Pegunungan Tengah di Irian Timur, dan
juga beberapa bangsa penduduk asli Benua Amerika
Utara.
Berbagai hal membuktikan bahwa kepercayaan itu
tidak timbul sebagai akibat
pengaruh agama Nasrani atau Islam, sebagai dua
agama besar yang menyebar di seluruh
dunia, maka kepercayaan tadi malahan tampak
seolah-olah terdesak kebelakang oleh
kepercayaan kepada mahluk-mahluk halus,
dewa-dewa, ruh , hantu dsb. A.Lang
berkesimpulan bahwa kepercayaan kepada dewa
tertinggi adalah suatu kepercayaan yang
sudah amat tua, dan mungkin merupakan bentuk
religi manusia yang tertua. Angapan A.Lang
terurai di atas, tak lama kemudian di olah lebih
lanjut oleh W.Schmidt. Tokoh besar dalam
antropologi ini adalah gurubesar pada satu
perguruan tinggi yang pusat mula-mulanya di
Australia, kemudian di Swiss, umtuk mendididk
calon-calon pendeta penyiar agama katholik
dari organisasi Societas Verbi Devini. Di
dalam kedudukan serupa itu maka mudah dapat
dimengerti
bagaimana anggapan bahwa adanya kepercayaan kepada dewa-dewa tertinggi
di
dalam alam jiwa bangsa-bangsa yang masih amat
cocok dengan dasar-dasar cara befikir
W.Schmidt dan juga dengan filsafatnya sebagaia
orang pendeta agama Katholik.
Di dalam
hubungan itu beliau percaya bahwa agama itu berasal dari titah Tuhan yang
diturunkan kepada mahluk manusia pada masa
permulaan ia muncul di muka bumi ini.
Karena itulah, adanya tanda-tanda daripada suatu
kepercayaan kepada dewa pencipta. Justru
kepada bangsa-bangsa yang lebih rendah tingkat
kebudayaanya (artinya yang paling tua
menurut Schmidt) memperkuat anggapanya mengenai
adanya Titah Tuhan asli, atau yang
disebutnya sebagai Uroffenbarung.
Demikianlah kepercayaan yang asli yang
bersih kepada
Tuhan, atau kepercayaan Urmonotheismus
tadi itu malahan ada pada bangsa-bangsa lain yang
tua yang hidup pada zaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih
rendah. Di dalam
zaman kemudian, ketika makin maju kebudayaan
manusia, maka makin kaburlah
kepercayaan asli terhadap Tuhan; makin banyak
kebutuhan manusia, makin terdesaklah
kepercayaan asli itu oleh pemujaan kepada
mahluk-mahluk halus, roh, dewa dsb.
Angapan
Schmidt terurai diatas dianut oleh beberapa orang sarjana yang untuk
sebagian besar bekrja sebagai penyiar agam
Nasrani dan organisasi societas verbi Divini.
Disamping menjalankan tugas sebagai penyiar
agama Nasrani di dalam berbagai daerah di
muka bumi, mereka melakukan
penelitian-penelitian antropologi budaya berdasarkan atas
anggapan-anggapan pokok daripada guru mereka.
Demikian antara lain, sarjana-sarjana itu
mencari di dalam kebudayaan-kebudayaan di daerah
mereka masing-masing akan adanya
tanda-tanda suatu kepercayaan kepada dewa
tertinggi.
Sistem kayakinan secara khusus mengandung
benyak sub-unsur lagi. Dalam rangka ini para ahli antroplogi biasanya menaruh
perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat;
sifat-sifat dan tanda-tanda dewa-dewa; konsepsi tentang mahluk-mahluk halus
lainya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupuan yang jahat,
hantu dan lain-lain; konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah
terciptanya dunia dan alam (kosmologi); masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat
dunia dan alam (kosmologi); konsepsi tentang hidup dan mati’ konsepsi tentang
dunia roh dan dunia akhirat lain-lain.
Adapun sistem kepercayaan dan gagasan,
pelajaran aturan agama, dongeng suci tengtang riwayat-riwayat dewa-dewa
(mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya
juga dianggap sebagai kesusastraan suci.
Sistem upacara keagaman secara khusus
mengandung emosi aspek yang menjadi perhatian khusus dari para hali antroplogi
ialah:
(i)tempat upacara keagamaan dilakukan;
(ii)saat-saat upacara keagmaan dijalankan;
(iii)benda-benda dan alat-alat upacara;
(iv)orang-orang yang melakukan dan
memimpin upacara.
Aspek yang pertama berhubungan dengan
tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura,
kuil, gereja, langgar, surau, mesjid dan sebagainya. Aspek ke-2 adalah aspek
yang mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci dan sebagainya.
Aspek k-3 adalah tentang benda-benda ynag dipakai dalam upacara termasuk
patung-patung yang melambngkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti
lonceng suci, seruling suci, gendering suci dan sebagainya. Aspek ke-4 adalah
aspek yang mengani para pelaku upacara keagamaan, yaitu pendeta biksu, syaman,
dukun dan lain-lain.
Upacara itu sendiri banyak juga
unsurnya, yaitu:
i.bersaji,
ii.berkorban;
iii.berdo’a;
iv.makan ebrsama makanann yang telah disucikan dengan
do’a;
v.menari tarian suci;
vi.menyanyi nyanyian suci;
vii.berpropesi atau berpawai;
viii.memainkan seni darama suci;
ix.berpuasa;
x.intolsikasi atau menaburkan pikiran dengan makan obat bius unutk mencapai
keadaan trance, mabuk;
xi.bertapa;
xii.bersemedi.
Sub-unsur ke-3 dalam rangka religi,
adalah sub-unsur mengenai umat yang menganut agama atau religi yang
bersangkutan khusus sub-unsur itu meliputi misalnya soal-soal pengikut agama,
hubungannya satu dengan lain hubungan dengan para pemimpin agama, baik dalam
saat adanya upcara keagamaan maupun adalam kehidupan sehai-hari; dan akhirnya
sub-unsur itu juga meliputi soal-soal seperti organisasi para umat, kewajiban,
serta hak-hak para warganya.
Pokok-pokok khusus dalam rangka sistem
ilmu gaib, atau magic, pada lahirnya memang sering tampak sama dengan dalam
sistem religi. Dalam ilmu gaib sering terdapatjuga konsepsi-konsepsi dan
ajaran-ajarannya; ilmu gaib juga mempunyai sekelompok manusia yang yakin dan
yang menjalankan ilmu gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Kecuali itu,
upacara ilmu gaib juga mempunyai aspek-aspek yang sama saat-saat tertentu unutk
mengadakan upacara (biasanya juga pada saat-saat atau hari-hari keramat); ada
peralatan untuk melakukan upacara, dan ada tempat-tempat tertentu di mana
upacara harus dilakukan. Akhirnya suatu upacara ilmu gaib seringkali juga
mengandung unsur-unsur upacara yang sama dengan upacara religi pada umumnya. Misalnya; orang melakukan ilmu gaib
untuk menambah kekatan ayam yang hendak diadunya dalam suatu pertandingan adu
ayam. Untuk itu dia membuat obat gaib dengan sajian kepada roh-roh, serta dengan
mengucapkan doa kepada dewa-dewa, serta dengan mengucapkan mantra-mantra
tertentu, dan dengan puasa. Dengan melakukan hal-hal itu semua ia percaya bahwa
obat gaib untuk ayam jantannya akan mujarab sekali.
Walaupun pada lahirnya religi dan ilmu
gaib sering kelihatan sama, dan walaupun sukar untuk menentukan batas daripada
upacara yang bersifat religi, dan upacara yang bersifat ilmu gaib, pada
dasarnya ada juga suatu perbedaan yang besar sekali antara kedua pokok itu.
Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang
menjalankan agama, manusia bersikap menyerahkan diri sama sekali kepada Tuhan,
kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang; pokoknya menyerahkan diri samasekali
kepada kekuatan tinggi yang disembanhnya itu. Dalam hal itu manusia biasanya
terhinggap oleh suatu emosi keagamaan. Sebaliknya, pada waktu menjalankan ilmu
gaib manusia bersikaplain samasekali. Ia berusaha memperlakukan
kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya dan berbuat apa
yang ia capainya.
E.Sistem Religi Awal Masyarakat
Indonesia
Menurut mereka, agama merupakan keyakinan kepada sejumlah kekuatan yang ada di luar atau lebih tinggi dari manusia sebagai tempat memohon dan meminta petunjuk tentang jalan kehidupan. Kekuatan tersebut bisa berupa makhluk halus yang menghuni gunung, batu besar, pohon, binatang atau makhluk yang tidak berwujud tapi menguasai daerah tersebut dan nenek moyang.
Animisme adalah suatu kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus
Dinamisme adalah suatu kepercayaan terhadap benda-benda.
Kegiatan religi dalam praktiknya memerlukan suatu alat yang dianggap suci dalam bentuk simbol yang diyakini memiliki kekuatan gaib dan dapat mempersatukan mereka yang disebut totem. Setiap kelompok memiliki totemnya masing-masing.
Religi juga dapat muncul dari Magic, contoh dukun yang sedang melakukan pengobatan terhadap warganya yang sakit, dimana kesembuhan tersebut dianggap ditolong oleh roh nenek moyang melalui perantara dukun yang bersangkutan.
Religi yang dilakukan manusia dalam hubungannya dengan alam selalu menyangkut 3 faktor, yaitu :
1. Alat-alat yang digunakan
2. Ritual keagamaan
3. Mantera-mantera
F.SISTEM KEPERCAYAAN AWAL MASYARAKAT DI INDONESIA
a. Animisme = makhluk hidup & benda mati memiliki roh yg punya
kekuatan dahsyat
b. Dinamisme = setiap benda mempunyai tenaga / kekuatan gaib
c. Feteyisme = benda buatan manusia (jimat, keris, dll) punya
kekuatan gaib
d. Syamanisme = orang yang hidup dapat berhubungan dgn roh melalui
medium seperti orang
yang punya kelebihan, orang mati yang keramat, atau benda
mati (jelangkung, dll)
e.
Monoisme-dualisme= segala sesuatu berawal dari
satu, lalu menjelma jadi dua
f. Magi/magis = orang-orang tertentu punya kekuatan luar biasa yg tidak dimiliki
awam
BAB II
A.KESIMPULAN
Agama
adalah sebuah keyakinan akan sesuatu yang kekal dan memberikan mereka
kehidupan.Agama menjadi Suatu hak khusus yang di miliki bangsa indonesia dari
hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem kehidupan itu mencakup seluruh
aspek kehidupan serta seluruh warga negara dan agama termasuk dalam segala
aspek kehidupan misal di indonesia misal sebagai bagian budaya dan lain-lain.
B.Daftar
Pustaka
Anderson,
O’C, Benedict R-Nakamura, Mitsou-Slamet, Mohammad. (1996). Religion Social
Ethos-Agama
dan etos sosial di Indonesia (terj.), penerbit PT Alma
Arif Bandung.
Boelaars,
Y. (1984). Kepribadian Indonesia Modern, Suatu Peelitian Antropologi Budaya.
Jakarta:
PT Gramedia
Geertz,
Clifford. (1989). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
(terj.). Jakarta.
PT
Dunia Puataka Jaya.
Harsoyo.
(1999). Pengantar Antropologi; Bandung: Penerbit Putra A Bardin
Koentjaraningrat.
(1987). Kebudayaan, Mentalitet dan
Pembangunan, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia.
http://oki-sukirman.blogspot.com/2007/01/sistem-kepercayaan-religi.html
http://elvanilovewestlife.blogspot.com/2011/03/sistem-religi-awal-masyarakat-indonesia.html
http://edukasi-pelajar.blogspot.com/2012/02/sistem-kepercayaan-awal-masyarakat-di.html
http://www.masbied.com/2010/06/05/islam-dan-kebudayaan/#more-3111
http://elvanilovewestlife.blogspot.com/2011/03/sistem-religi-awal-masyarakat-indonesia.html
http://edukasi-pelajar.blogspot.com/2012/02/sistem-kepercayaan-awal-masyarakat-di.html
http://www.masbied.com/2010/06/05/islam-dan-kebudayaan/#more-3111